Selasa, 24 April 2012

Sudahkah Kau Bayar Utangmu [Bag. 1]

Oleh: Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron -hafizhahullah

Utang piutang telah membudaya. Penerapannya pun sudah salah kaprah. Utang piutang yang semula merupakan bentuk tolong-menolong berubah menjadi bentuk usaha yang harus menguntungkan, maka lahirlah istilah bunga pinjaman. Padahal jika mau dikembalikan ke asas dibolehkannya utang-piutang maka keuntungannya malah berlipat, pahala dari Allah Subhanahu wa Ta`ala. Bukannya harta haram, ambruknya perekonomian dan murka Allah Subhanahu wa Ta`ala. Renungkanlah.

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermua`malah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya..." {QS. Al Baqarah [2]: 282}

Mengherankan sekaligus mengenaskan, orang yang tidak mau utang dipaksa supaya utang, sedangkan yang tidak punya agunan berani ambil pinjaman. Terjadilah dilema. Jika utang ke bank dibayar tepat waktu sedangkan utang kepada saudara sesama muslim pura-pura dilupakan. Akhirnya, persaudaraan pun menjadi renggang.

Ingatlah wahai saudara, utang yang tidak dibayar di dunia kelak ditagih ketika timbangan ditegakkan. Perhatikan keterangan di bawah ini sebelum maut datang menjemput. Lunasi utangmu sebelum dirimu dan keluargamu menderita.

---

Faedah dan Makna Ayat Secara Umum

Islam agama sempurna. Ia membahas segala hal yang menjadi kebutuhan hidup manusia, termasuk mu`amalah utang piutang. Di antara ayat Allah yang membahas hal ini ialah Surat Al Baqarah [2]: 282.

Ayat tersebut paling panjang dibanding dengan ayat lainnya. Hanya, kami tulis sebagiannya karena terbatasnya halaman dan padatnya pembahasan. Ayat ini mengandung banyak kaidah dan faedah yang dapat kita ambil, utamanya tentang bermu`amalah dengan sesama manusia. Dengan mengkaji ayat ini akan terjalin sikap saling tolong-menolong yang bersih dari tipu-menipu dan rugi-merugikan. Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa`di rahimahullah -ulama tafsir Ahlus sunnah- menukil ada puluhan faedah yang terkandung dalam ayat ini:
  1. Utang piutang, baik utang murni atau membeli barang secara kredit, hukumnya boleh.
  2. Utang hendaknya ditentukan waktu pembayarannya. Jika tidak, hukumnya haram karena mengandung unsur penipuan atau perjudian.
  3. Allah Subhanahu wa Ta`ala memerintahkan pencatatan utang piutang.
  4. Pencatat hendaklah takut kepada Allah.
  5. Catatan tersebut hendaknya ditulis dengan bahasa yang jelas dan mudah dipahami.
  6. Pencatatan termasuk nikmat Allah. Tidaklah sempurna urusan dunia dan agama seseorang melainkan dengan pencatatan.
  7. Yang berutang hendaklah yang mencatat. Apabila tidak mampu -karena masih kecil, gila, atau buta huruf- maka walinya yang mencatat.
  8. Kesadaran mencatat adalah cara yang mulia untuk mengetahui hak seseorang.
  9. Wali wajib mengurus orang yang kurang sempurna akalnya.
  10. Wali punya hak penuh untuk mengurus perkara.
  11. Wali harus bersifat amanah dan jujur.
  12. Yang berutang, ketika menyuruh pencatat, harus takut kepada Allah. Tidak boleh merugikan, tidak mengurangi kadar, nilai, dan persyaratan (utang)nya.
  13. Menjelaskan secara terperinci adalah sifat orang yang bertaqwa.
  14. Pada jual beli sebaiknya ada saksi. Jika dibayar dengan kredit, tulisan (catatan) itulah saksinya.
  15. Yang menjadi saksi hendaklah dua orang laki-laki yang jujur. Jika salah satunya berhalangan boleh diganti dengan dua wanita. Ini berlaku untuk semua mu`amalah.
  16. Untuk urusan agama, seperti meriwayatkan hadits atau berfatwa, laki-laki punya hak yang sama dengan wanita.
  17. Jika salah satu saksi lupa, yang lain mengingatkannya.
  18. Yang jadi saksi harus benar-benar mengetahui perkaranya.
  19. Saksi tidak boleh menolak bila dimintai keterangan.
  20. Saksi dan penulis tidak boleh dirugikan haknya oleh pihak yang berpiutang dan yang berutang.
  21. Saksi dan penulis tidak boleh mengambil upah karena yang dilakukannya merupakan perintah Allah kepada hamba-Nya.
  22. Tulis-menulis merupakan bagian dari din (agama) yang sempurna.
  23. Menjadi juru tulis merupakan nikmat dari Allah bila digunakan untuk menolong orang yang membutuhkan.
  24. Orang yang merugikan penulis dan saksi tergolong manusia yang fasik dan merugi.
  25. Manusia butuh ilmu agama untuk kelancaran ibadah dan butuh ilmu dunia untuk kelancaran mu`amalah.
  26. Boleh menggadaikan barang yang berharga kepada pemberi utang sebagai tanda kepercayaan.
  27. Sebaik-baik barang gadaian adalah yang bisa dipegang oleh pemberi utang.
  28. Mu`amalah boleh dilakukan tanpa saksi dan barang gadaian bila kedua belah pihak bertaqwa dan takut siksaan Allah.
  29. Orang yang dipercaya oleh pemberi utang wajib menunaikan amanat.
  30. Dilarang menyembunyikan persaksian
(Lihat Tafsir al-Karimur Rohman: 1/959-960)

---

Hukum Utang Piutang

Menurut ayat di atas, asal hukum utang piutang adalah mubah (boleh) karena manusia membutuhkan bantuan orang lain. Rasulullah shalallahu `alaihi wa sallam pernah berutang gandum kepada orang yahudi. Ini menunjukkan bolehnya bermu`amalah dengan orang kafir selagi dalam batas yang halal. Kalau utang piutang dengan orang kafir saja boleh maka memberi utang saudara sesama muslim tentu lebih utama dan berpahala.

"Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun." {QS. At Taghobun [64]: 17}

Abu Hurairah radhiyallahu `anhu mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu `alaihi wa sallam bersabda:

"Dan Allah selalu menolong hamba-Nya selagi hamba itu menolong saudaranya." (HR. Muslim: 13/ 212)

Saudaraku yang beriman, bila saudaramu memberimu utang semata-mata ingin menolong dirimu karena Allah maka jangan kau mengkhianati saudara yang berbuat baik. Sebaliknya, pemberi utang dilarang mencari keuntungan dunia sedikit pun ketika meminjami saudaranya yang butuh bantuan.

"...maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." {QS. Al Baqarah [2]: 279}
Artinya -berdasarkan ayat di atas- utang seribu rupiah hendaknya dikembalikan seribu rupiah.

     Bersambung Insya Allah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar